14 Mei 2010

Singapura Surganya Koruptor

Opini

"Singapura Surganya Koruptor"

Oleh: Aspiannor Masrie (Sekretaris Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fisip Unhas)


Dari 55 ribu orang sangat kaya di Singapura dengan total kekayaan sekitar USD 260 miliar, 18 ribu di antarannya merupakan orang Indonesia dengan total kekayaan tidak kurang dari USD 87 miliar atau setara Rp 783 triliun. Jangan heran jika akhirnya Singapura memilih melindungi para koruptor Indonesia, ketimbang membantu menangkapnya.

Ketika Pemerintah Indonesia berurusan dengan kasus-kasus korupsi (kejahatan kerah putih), maka negara Singapura selalu disebut-sebut sebagai surganya pelarian para koruptor tersebut. Sejak kasus bantuan Likuiditas Bank Indonesia mencuat tahun 1997-1998, Singapura menjadi pintu gerbang atau tujuan terfavorit dari sejumlah koruptor untuk melarikan diri.

Diperkirakan ada sekitar 17 buron kasus korupsi kelas kakap yang bersembunyi di Singapura. Di mana, para buronan tersebut sulit untuk diekstradisi oleh pihak Kejaksaan dan Kepolisian Indonesia karena Singapura belum mau meratifikasi perjanjian ekstradisi. Dengan demikian, tidaklah mengherankan kalau Gayus koruptor kelas teri memilih Negeri Singa tersebut sebagai tempat pelariannya.

Negara Terkorup

Kasus Gayus hanyalah kasus kecil dalam masalah korupsi di Indonesia. Sebut saja, misalnya, kasus korupsi kehutanan di Riau, Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi, di mana kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 30 triliun.

Sehingga, tidaklah mengherankan hasil survei perusahaan konsultan "Political & Economic Risk Consultancy", berbasis di Hongkong yang dirilis Senin, 8 Maret 2010, menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara terkorup dari 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi dari para pelaku bisnis.

Penilaian tersebut berdasarkan atas pandangan para eksekutif bisnis yang menjalankan usaha di 16 negara terpilih dengan total responden 2,174 dari kalangan eksekutif kelas menengah dan atas di Asia, Australia, dan Amerika Serikat.

Sebagai salah satu negara emerging markets, Indonesia ternyata menempati peringkat pertama sebagai negara terkorup dengan skor 9,07 dari nilai 10. Faktanya korupsi di Indonesia terus mengalami peningkatan secara kualitas dan kuantitas dengan berbagai modus operandi.

Kondisi ini disebabkan kurangnya transparansi pemerintah, penegak hukum yang tidak bertanggung jawab, dan pegawai pemerintah yang bermoral rendah. Sehingga, pemberantasan korupsi masih kurang maksimal.

Sejauh ini, memang cukup banyak kasus korupsi yang terungkap tetapi penanganan hukumnya masih kurang memadai. Bahkan, hukuman yang diberikan hanyalah hukuman penjara dan denda yang tidak membuat efek jera. Di samping itu, dalam penanganannya masih menerapkan kebijakanan tebang pilih.

Menurut catatan ICW tahun 2009, KPK belum memprioritaskan kasus yang nilai kerugian negara besar untuk memberikan deterrent efect. Di mana kasus yang ditangani KPK masih didominasi kasus dengan kerugian negara dari interval Rp 1 miliar sampai Rp 20 miliar.

Indonesia bisa belajar dari China dalam penangganan pemberantasan korupsi. Ketika, Zhu Rongji dilantik menjadi Perdana Menteri China tahun 1998, dengan tegas mengatakan: "Berikan saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk para koruptor dan satu buat saya sendiri jika saya pun melakukannya."

Ucapan tersebut dibuktikan dengan menolak permohonan banding Wakil Ketua Kongres Rakyat Nasional di pengadilan dan menghukum mati Cheng Kejie, pejabat tinggi Partai Komunis China karena terlibat suap sebesar USD 5 juta.

Dalam hal pengawasan publik, China memiliki 5.000 tempat pengaduan, sehingga masyarakat dapat melaporkan dengan mudah segala bentuk tindak korupsi. Dalam buku "The China Business Handbook", dilaporkan sepanjang tahun 2003 tidak kurang 14.300 kasus diungkap dan dibawa ke pengadilan, di mana sebagian divonis hukuman mati.

Sampai tahun 2007, Pemerintah China telah menghukum mati 4.800 orang pejabat negara yang terlibat korupsi. Kebijakan ini membawa dampak positif terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi China yang mencapai 9 persen per tahun dengan nilai pendapatan domestik bruto sebesar USD 1.000 dengan cadangan devisa mencapai USD 300 miliar.

Surga Koruptor

Singapura dikenal sebagai surganya para koruptor Indonesia, di mana banyak para koruptor memilih kabur ke Singapura. Setidaknya terdapat 17 koruptor kelas kakap memilih Singapura sebagai tempat pelariannya.

Mereka itu adalah Sjamsul Nursalim dalam kasus BDNI, di mana kerugian negara mencapai Rp 6,9 triliun dan USD 96,7 juta. Bambang Sutrisno dalam kasus Bank Surya dengan kerugian negara Rp 1,5 triliun, Adrian Kiki Irawan, dalam kasus Bank Surya dengan kerugian negara Rp 1,5 triliun, David Nusa Wijaya dalam kasus Bank Sertivia dengan kerugian negara Rp 1,26 triliun.

Ada juga Samadikun Hartono dalam kasus Bank Modern dengan kerugian negara Rp 169 miliar, Agus Anwar dalam kasus Bank Pelita yang membuat negara merugi Rp 1,9 triliun, Irawan Salim dalam kasus Bank Global yang merugikan negara USD 500.000.

Juga Sudjiono Timan dalam kasus BPUI dengan kerugian negara USD 126 juta, mantan direktur dan komisaris PT MBG yaitu SH, HH, TS, GS, dan TWJ dalam kasus BPPN yang membuat negara merugi Rp 60 miliar.

Hartono Tjahjadjaja dalam kasus BRI Senen dilaporkan kerugian negara sampai Rp 180 miliar, atau Nader Taher dalam kasus Bank Mandiri yang merugikan negara Rp 24,8 miliar. Begitu pula Maria Pauline Lumowa dalam kasus BNI (kerugian negara Rp 1,9 triliun), dan Atang Latief dalam kasus Bank Bira yang membuat negara merugi Rp 155 miliar. Para koruptor tersebut hidup dengan bebas menikmati hasil korupsinya.

Singapura sangat berkepentingan dalam melindungi para koruptor Indonesia mengingat investasi para koruptor cukup besar di negeri singa itu. Sebaliknya, Indonesia tidak mempunyai power untuk menekan Pemerintah Singapura dalam penangganan koruptor Indonesia yang melarikan diri ke negara tersebut.

Sebagaimana diungkapkan Ketua Pusat dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein dalam kasus Bank Century yang mengaku pernah meminta bantuan kepada otoritas yang menangani kejahatan money laundering Century. Namun, Singapura tidak pernah mau menjawabnya.

Di samping itu, menurut lembaga survei, Merrill Lynch menyebutkan bahwa Singapura merupakan surga
orang kaya Indonesia. Bahkan, sepertiga dari orang superkaya Singapura adalah warga Indonesia.
Sebenarnya Indonesia sudah memiliki payung hukum yang cukup untuk membawa aset Indonesia dari luar negeri kembali ke Indonesia.

Di mana, bukti-bukti baik dokumen maupun saksi sudah bisa disidik oleh aparat kita langsung bekerja sama dengan aparat luar negeri.

Di samping itu, Indonesia bisa mengacu pada ASEAN Plan of Action Transnasional Crime, 1999 dalam penanganan masalah korupsi dan money loundry, sehingga para koruptor Indonesia bisa diekstradisi. Namun, akibat lemahnya diplomasi Indonesia dalam menggolkan perjanjian ekstradisi, maka Singapura menjadi surganya bagi koruptor Indonesia tanpa bisa disentuh oleh hukum.

http://metronews.fajar.co.id

0 comments:

Posting Komentar

Untuk mendukung FIANZONER jangan lupa klik SATU IKLAN saja ya...FIANZONER ucapkan terima kasih atas komentar dan kunjungan Agan :)